Antara Perubahan dan Pengubahan

Oleh: Riduan Situmorang. 

Gedung KPK (blogspot)
Baru-baru ini pada harian ini, Bapak Harimurti mengusulkan pemilihan pemakaian kata yang tepat antara “pemberantas” dan “pemberantasan” pada huruf “P” pada singkatan “KPK”. Selain makin hemat karena menghapus akhiran an (tidak korupsi huruf), efek psikologis yang diterima rakyat pun makin bertaji. Berikutnya, Bapak itu juga mempermasalahkan pemakaian kata “patah” dan “terbelah” lantaran Pesawat Lion Air yang gagal mendarat di Ngurah Rai baru-baru ini yang malah mengapung di pinggiran laut dan “patah”, bukan “patah”. Semoga saja beliau tidak mengkritisi pemakaian kata mengapung pada kalimat sebelum kalimat ini sebab penulis tidak tahu lagi menggambarkan bagaimana posisi pesawat tersebut: sedang berenang atau mengapung dan yang pasti bukan tenggelam. 

Pertama, kita sangat patut memberi apresiasi positif kepada Bapak Harimurti sebab itu pertanda bahwa beliau masih mengaplikasikan isi Sumpah Pemuda. Seperti beliau memberi saran, penulis pun ingin memberi gambaran. 

Menabrak Pleonasme

Menurut logika penulis, komisi adalah sebuah badan yang sudah memuat orang. Pada singkatan KPK, semoga saja kita menghilangkan jauh-jauh komisi yang berarti gaji atau honor. Sebab, jika kita mengaitkan kata komisi dengan gaji, KPK boleh jadi bukan lagi menjadi wadah pemberantas korupsi. Lantaran komisi itu sudah berarti sebuah badan yang memuat orang, rasanya tidak tepat lagi memilih kata pemberantas di sana. Bukankah kata pemberantas di sana sudah memanifestasikan orang juga? Mungkin, nada psikologisnya dapat diterima rakyat, tapi tanpa sadar, penggunaan frase komisi pemberantas pada singkatan KPK ini sudah menabrak aturan bahasa: pleonasme atau berlebihan, jika tidak, bahasa gaulnya lebay dan mubazir. 

Barangkali untuk terhindar dari nada pleonasme, para pendahulu kita pun menyepakati nama wadah wakil rakyat sebagai DPR, bukan DWR. Seperti yang kita ketahui, orang-orang yang duduk di DPR adalah orang-orang terpilih (walaupun bukan benar-benar pilihan). Karena mereka adalah orang-orang, mereka disebut sebagai kumpulan orang, semoga saja bukan gerombolan orang. Nantinya, kumpulan orang ini kita sebut sebagai dewan. Lantaran dewan sudah memuat orang, para pendahulu kita pun memilih kata perwakilan.Mereka tidak memilih kata wakil apalagi wakil-wakil sebab wakil itu sudah memuat arti orang. Jadilah nama mereka DPR, bukan DWR apalagi DWWR. 

Tapi, pada kasus BPK, sepertinya kita terjebak pada aturan bahasa. Nada pleonasme sangat jelas tergambar di sana. Bukankah badan itu sudah memuat arti orang? Begitu juga dengan kata pemeriksa sudah memuat arti orang. Seperti saran Bapak Harimurti yang mencoba menghemat akhiran an pada kata pemberantasan, kiranya pada pemeriksaan ini pun kita tak perlu berhemat, bukan pada kata pemberantasan. 

Selain pada kasus BPK, kita juga sepertinya menabrak aturan bahasa dengan sengaja pada PBB (perserikatan bangsa-bangsa, bukan pajak bumi dan bangunan).Kita semua tahu bahwa perserikatan itu lebih dari satu. Lantas, mengapa kita harus mengulang kata bangsa di sana? Perlu kita ketahui, selain pleonasme, PBB itu juga telah terciderai oleh bahasa asing. Kita semua tahu bahwa kata ciyus itu bukan kalimat ragam baku karena ciyus adalah bahasa asing. Arti bahasa asing di sini bukan semata bahasa yang berasal dari luar negeri, tapi bahasa asing juga bahasa selain bahasa Indonesia yang baku. Kita pun mengerti mengapa kita tidak mengatakan merah bunga apabila maksud kita adalah bunga merah sebab merah bunga masih terkontaminasi bahasa asing, yaitu bentuknya yang diterjemahkan langsung: red flower. Begitupun PBB, selain karena berlebihan, juga karena terkontaminasi bahasa asing.

Instan atau Sudah Terlanjur Serba Instan?

Pada politik, para pemeran politik juga telah memerkosa bahasa. Mereka enak saja memakai kata perubahan sebagai motto pamungkasnya. Menurut hemat penulis, penggunaan kata perubahan pada slogan-slogan bombastis mereka masih sangat tidak tepat. Perubahan kata dasarnya ubah, bukan rubah. Andai kata dasar perubahan adalah rubah, penggunaan kata perubahan pada slogan bombastis mereka menjadi benar. Memang, jika ditelisik lebih dalam lagi, maksud mereka ketika menggunakan kata perubahan adalah bukan membuat kita dan Negara ini menjadi rubah, tapi adanya perubahan setelah dan jika hanya mereka telah berhasil mengubah (bukan merubah) paradigma masyarakat. Dulunya apabila kita berpikir bahwa korupsi itu adalah budaya yang tak bisa dihapuskan, mereka datang menawarkan bahwa dengan mereka korupsi itu ternyata bukan budaya. Dulunya apabila mereka menilai bahwa pemerintah sebelum mereka telah gagal, mereka datang membawa pandangan bahwa tak akan ada lagi kegagalan.

Intinya, mereka ingin mengubah paradigm dan keadaan masyarakat dan tentunya ke arah yang lebih baik. Mereka ingin pandangan kita berubah. Lihat, mereka sebenarnya masih sebatas ingin dan mereka masih membungkusnya dalam bungkusan retorika. Artinya, hal yang berubah itu sesungguhnya masih belum ada. Yang ada adalah rencana atau proposal untuk mengubah paradigm tersebut jika kita bermurah hati untuk menandatangani proposal tersebut. Singkatnya, perubahan itu bukanlah rencana. Perubahan itu adalah sebuah kenyataan yang memang sudah benar-benar berubah dan pada saat yang sama kita sedang merasakan hal yang berubah tersebut. Lain halnya dengan pengubahan, kalau perubahan cenderung padahal yang belum terjadi, pengubahan adalah proses untuk mengubah. 

Nah, kalau politisi yang belum terpilih itu masih belum terpilih, pastinya yang mereka tawarkan adalah proses pengubahan yang akan melahirkan perubahan, bukan malah menawarkan perubahan tanpa melalui proses atau tanpa melalui pengubahan. Kalau yang ditawarkan adalah perubahan dan mereka mengklaim bahwa mereka telah memberi perubahan, berarti kita telah dipaksa untuk secepatnya berubah tanpa proses yang matang (pengubahan). 

Akhirnya, kita pun terlahir dengan wajah perubahan yang masih prematur.Sekali lagi, kita belum mengalami perubahan.Walaupun mungkin kita sudah berubah, kita masih prematur. Atau yang lebih menyedihkan, jangan-jangan kita belum dilahirkan sebab sejak kapan pengubahan itu dibenihkan? Kalau belum pernah dibenihkan, bagaimana bisa kita lahir prematur dalam perubahan?

Memaksakan perubahan tanpa pengubahan itu berarti menawarkan sesuatu yang instan. Pada akhirnya, keadaan kita sekarang boleh jadi produk serba instan. Untuk itu, kiranya kita lebih jeli lagi memilih kata-kata, apalagi kalau tempat dan pengaruh kata-kata tersebut sangat sensitif, sakral,  strategis, dan berefek psikologis dahsyat. Mari mengubah, bukan merubah! Lagipula, bagaimana mungkin kita bisa berubah tanpa terlebih dahulu kita berani mengubah!

Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Inten Medan, aktif di KMK Unimed, Pendiri Komunitas Poesi, Deklarator Pendistra Unimed, Anggota Komunitas “Cah Gubuk”.

*dikutip dari Analisa

0 comments:

Post a Comment