Perihal Keseriusan dan Faedah dalam Cerpen Patung


Perihal Keseriusan dan Faedah dalam Cerpen Patung


Secara eksplisit maupun implisit disebutkan bahwa fiksi serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna bagi kita dan bukannya memberikan kenikmatan” (Robert Stanton. 4:2007)


Jika pernyataan dalam Teori Fiksi, Robert Stanton, tersebut diaplikasikan ke dalam pembacaan cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Patung persepsi yang muncul adalah “keminan-mainan” Penulisnya dalam menciptakan cerpen tersebut. sebab, tidak adanya penggarapan yang serius terhadap tokoh dan penokohan, latar dan suasana, yang keseluruhannya membangun cerita dengan jelas sehingga pembaca dapat mengambil faedah sesuai sebab-akibat yang logis.

Dari tokoh dan penokohan sangat sulit diterima akal sehat atau logika. Penulis menceritakan sebuah patung, sebagai tokoh utama, yang di dalamnya tidak mempertimbangkan alur logika. Cerita tokoh utama hanya mnejadi sebuah bentuk metafor, tetapi seharusnya pada bentuk metaforik tersebut pun terdapat logika yang menuntun pembaca untuk mengambil faedah tersebut. di sisi lain, bentuk seperti ini pulalah yang mnejadi ciri khas kepengarangan Penulisnya, sering dikategorikan bahwa Seno adalah penulis yang Surealis.



Duaratus tahun kemudian, seorang nenek berkata kepada cucunya, sambil menunjuk diriku.

“Lihatlah orang bodoh itu,” katanya, “ia berdiri terus disitu, menunggu kekasihnya sampai menjadi patung.”


Latar dan suasana yang dibangun pun tidak memiliki relevansi yang jelas terhadap keadaan tokoh utama. Sewajarnya, tokoh dibangun dengan didasari keadaan sekitarnya. Suasana pun seharusnya mampu menjadi “sebab-akibat” tokoh dalam bertindak. Pada situasi ini cerpen Patung tidak membentuk latar dan suasananya yang ril dalam rangkaian membangun tokoh. Tokoh lelaki patung, yang diakhir cerita diikuti dengan perempuan yang akan menjadi patung pula, hanya diakibatkan oleh keadaan yang kurang diterima akal, Aku tidak bisa berkutik karena telah menjadi patung.


Aku terus menerus berada di sana, di pertigaan di luar desa menghadap sawah membentang seperti permadani. Kemudian tumbuh pohon beringin di pertigaan itu. Akarnya membelit-belit badanku. Aku tidak bisa berkutik karena telah menjadi patung. Tiada yang bisa kulakukan selain menunggu. Hidup tidak memberiku banyak pilihan selain mencintai dia. Aku akan terus menerus menunggu dari senja ke senja.


Pada bentuk-bentuk suasana seperti kutipan di atas tokoh telah mnejadi patung, sementara keadaan sekitarnya, dan yang menjadi landasan bertanya, adalah mengapa bisa tokoh menjadi patung? Dengan unsur-unsur apa, bahkan hingga beratus-ratus tahun?

Namun, ada pernyataan implisit yang dapat diambil menjadi faedah dalam cerpen tersebut, yakni kesetiaan kepada pasangan itu penting, meskipun tantangannya menjadi batu, sesuatu yang keras dan tidak dapat bergerak hanya demi menjaga kesetiaan. Kesetiaan menjadi tema utama dan pesan yang ingin disampaikan Penulis kepada pembacanya.

Bahasa Sebagai Kekuatan dan Momentum Mei

BULAN Mei merupakan bulan identitas bangsa ini (Indonesia). Tanggal 2 Mei merupakan Hari Pendidikan Nasional, sedangkan tanggal 20 Mei Hari Kabangkitan Nasional.

Selain itu, pada bulan Mei pula timbul hari-hari penting, sebagai proses membangun jari diri bangsa, seperti Hari Buruh yang jatuh 1 Mei, wafatnya pejuang buruh, Marsinah, pada 9 Mei, dan hari buku nasional pada tanggal 21 Mei. Bahkan tanggal 21 Mei juga menjadi proses awal negara ini menuju sistem demokrasi, setelah kekuasaan otoritarian Orde Baru tumbang.

Momentum bulan Mei tidak terlepas dari proses. Proses tersebut menginginkan sebuah negara yang berdiri dengan jati diri bangsa dan secara sosial menuju ke tahap yang lebih sejahtera.

Namun, negara ini masih terlupakan dengan identitas diri, sebuah identitas yang terlahir dari bahasa. Meskipun bulan bahasa nasional telah ditetapkan pada Oktober, negara ini tidak mengistimewakan bahasa. Maka, bulan yang penuh sejarah ini akan terancam punah, dan hanya menjadi bulan yang sekadar seremoni.

Dapat dikatakan Kebangkitan Nasional tidak tercapai hakikatnya ketika identitas diri bangsa perlahan musnah. Tidak akan bisa suatu keinginan tercapai bila tidak menghadirkan kekuatan bahasa. Dengan hilangnya identitas secara bahasa, akan hilang pula suatu proses yang berarti dari sejarah-sejarah tersebut di bulan Mei.

Pada Hari Pendidikan Nasional kemarin, Indonesia telah menghadirkan beberapa bentuk penghancuran identitas di dalamnya. Misalnya soal pendidikan yang mengejar basis IT internasional, sekolah-sekolah mengikuti taraf internasional, sertifikasi ISO, wordclass university, bahkan kehadiran undang-undang badan hukum pendidikan. Itu semua menjadi sesuatu yang urgent terhadap kehancuran identitas dalam dunia pendidikan.

Berbagai proses dilakukan di dunia pendidikan telah mengabaikan bahasa lokal, secara tidak sadar telah merekonstruksi masyarakat terdidik untuk berorientasi menuju bahasa yang sesuai dengan hal-hal tersebut. Kehancuran ini dikarenakan institusi pendidikan dalam negeri harus mengikuti asesor. Buku-buku pendidikan pun akan didominasi oleh bahasa-bahasa asing. Sangat diperlukan "kontemplasi" oleh dunia perbukuan nasional pada Hari Buku Nasional bulan ini.

Lalu, muncul sebuah permasalahan besar dalam negeri ini ketika memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Sejak dinyatakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 bahwa orang miskin sebanyak 40 juta jiwa, di tahun 2009 ini akan lebih banyak lagi kemiskinan akibat krisis global. Dampaknya sudah terasa pada kasus-kasus PHK buruh-buruh pabrik. Dalam hal ini, suatu proses menuju kebangkitan bangsa akan semakin jauh. Kesejahteraan sosial tak dapat dilakukan secara merata dalam mencapai kebangkitan nasional seutuhnya.

Otoritas negara dalam kekuatan politik ekonomi internasional pun semakin lemah, akibat dari manuver-manuver intenasional yang masuk ke Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan eksplorasi alam dan budaya secara besar-besaran. Dalam hal ini, kebudayaan leluhur akan semakin terdiskriminasi di sisi sosial sebab masyarakat lebih mengutamakan kehidupan diri.

Selain kedua hal di atas, bulan Mei juga dikenal dengan bulan "perlawanan". Pada bulan Mei pula kekuatan rezim otoritarian runtuh, dengan lengsernya Soeharto dari kursi presiden, 21 Mei 1998. Dikuatkan pula sebagai bulan "perlawanan" akibat meninggalnya Marsinah, seorang buruh pabrik sepatu yang berjuang mendapatkan hak-haknya.

Menyangkut bulan pergerakan, sudah saatnya momentum tahun 2009 pada bulan Mei menjadi sebuah momentum perenungan identitas diri atau jati diri bangsa ini. Kekuatan lokalitas merupakan kekuatan nation demi mencapai kesejahteraan bersama. Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan suku bangsa dan ras yang berbeda, maka kekuatan lokalitas merupakan modalitas sebagai pembangunan kesejahteraan dan identitas diri.

Satu kekuatan bersama dalam membangun tahap identitas bangsa yang kuat adalah melalui bahasa nasional. Bahasa nasional yang telah dirasuki kebudayaan asing dan terus diabaikan akan membuat peradaban serta kekuatan negara dalam identitas akan segera musnah dalam kurun waktu yang tidak lama.

Adanya kekuatan bahasa menjadikan defensif awal terhadap serangan dari luar yang mulai menggerogoti kebudayaan Indonesia. Membangun kekuatan bahasa berarti membangun pertahanan awal dalam mencapai taraf kesejahteraan nasional, segala aspek pun tidak dapat terhindarkan. Aspek pendidikan nasional yang mulai dimasuki oleh korporasi internasional dengan pengesahan BHP, serta kekuatan arus globalisasi yang mengakibatkan krisis ekonomi terhadap perekonomian Indonesia, bahkan dengan adanya sikap "penghancuran bahasa" dari luar akan berdampak terhadap integritas bangsa.

Segalanya sangat bergantung pada kekuatan berbahasa, sebab bahasa merupakan satu-satunya makhluk hidup yang dapat mencerna dan menyatakan keberadaannya. Begitu pula halnya dengan kesejahteraan yang menuju identitas bangsa. (*)

20 Mei 2009

Bahasa dan Perlawanan Kelompok pada Film 10.000 BC



Sekilas menonton film 10.000 BC tidaklah menarik. Meminjam istilah bahasa slang, film ini tidak rame. Tidak rame karena tidak dapat menggetarkan hati, atau bahkan tidak ada teka-teki yang panjang. Hal ini diakui beberapa temanku. Cinta D’leh dengan Evolet pasti akan kembali lagi setelah dipisahkan oleh sekelompok orang yang menginginkan budak. Menurutku terlalu mudah mengatakan film ini tidak baik. Bukan berarti saya ingin mempromosikan film ini, 10.000 BC, tetapi ingin mendalami cerita yang ditawarkan film ini. Ada dua yang menarik dari film ini, yaitu bahasa dan perlawanan kelompok. Bagi saya menarik karena dapat menjadi bahan pertimbangan dari kondisi bahasa dan kondisi sosial saat ini.


Ada sebuah pernyataan : Ada seorang yang datang ke daerah kami, lalu kata orang tetua kami, pelajarilah bahasanya. Bagi saya, hal ini menarik. Pertama, bahasa sebagai alat manusia yang komunikatif. Artinya, tidak akan lancar berkomunikasi bila dua kelompok atau dua individu tidak memiliki bahasa yang sama, ataupun tidak mengathui bahasa yang digunakan oleh komunikator. Melihat kondisi negara-negara saat ini, sebuah bahasa telah menjadi bahasa yang universal. Dapat disimpulkan dugaan sementara, yakni beberapa negara telah dijajah oleh suatu negara. Penjahahan tersebut dilihat dari segi bahasa. Bahasa-bahasa lokal atau bahasa nasional suatu negara menjadi korban bahasa internasional (universal).


Melihat dari film tersebut pun, bahasa dari dua kelompok komunal yang berbeda. Dengan perbedaan tersebut, kedua atau beberapa kelompok menjadi tidak komunikatif. Seperti yang dilakukan oleh D’leh dan Tic Tic (teman ayah D’leh) ketika bertemu kelompok komunal petani. Berbeda memang mata pencarian dari asal kelompok Dleh dan Tic tic dengan kelompok komunal petani itu, kelompok D’leh adalah kelompok pemburu hewan, salah satunya adalah Manak sebuah gajah besar. Pada saat D’leh dan Tic tic masuk ke kelompok petani tersebut, untunglah ada seorang ketua kelompok petani yang menguasi bahasa kelompok pemburu atau disebut Suku Yagahl. Hingga D’leh dan Tic tic mampu berkomunikasi dengan lancar saat masuk ke kelompok tersebut. Dari sinilah kita dapat melihat, bahwa bahasa itu sangat pentinga, tidak hanya sekedar penting. Bagaimana dua kelompok individu dapat berkomunikasi bila tidak saling mengerti bahasanya?


Kemudian, bahasa pulalah yang menyatukan kelompok-kelompok tertindas, dalam hal ini kelompok-kelompok yang menjadi tujuan perbudakan. Kelompok Yagahl bersatu dengan kelompok-kelompok lain untuk membebaskan saudara-saudara mereka yang dipaksa bekerja, atau disebut pula dengan sistem perbudakan. Tujuannya untuk membangun sebuah bangunan lebih cepat, maka dari itu sang dewa mengutuskan untuk mencari budak-budak dari daerah yang ditempati oleh kelompok-kelompok manusia.


Awalnya, perlawanan dimulai dari cinta. D’leh dan Evolet yang sejak kecil telah menjalin hubungan. Namun, hubungan terlepas ketika kelompok penindas masuk ke Suku Yagahl untuk mengambil manusia Suku Yagahl dengan tujuan perbudakan tersebut. Dan, salah satu korbannya adalah Evolet, seorang perempuan yang dicintai oleh D’leh. Dari cintalah muncul perlawanan, dalam film ini.


Kondisi saat ini, perlawanan memang dibutuhkan oleh beberpa kelompok untuk mendapatkan sesuatu kesejahteraan, tetapi, apakah cukup perlawanan hanya dilakukan suatu kelompok saja? Saya kira, memang sangat dibutuhkan kebersamaan dalam melakukan perlawanan. Karena melawan harus dapat disesuaikan secara kuantitas dan kualitas. Bila secara kuantitas, memang tidak tepat bagi penindasan non-fisik. Akan lebih tepat melawan secara kualitas atas ketertindasan non-fisik.

Bahasa Teknologi Dan Kemusnahan Bahasa Lokal

Bahasa Teknologi Dan Kemusnahan Bahasa Lokal


Tribun Jabar, 18 Maret 2009

Bahasa seperti menjadi suatu kedudukan yang terendah bagi masyarakat Indonesia. Respon masyarakat tidak setara hebatnya dengan posisi respon terhadap perkembangan teknologi. Hal tersebut dapat terlihat dari minat konsumsi teknologi, pada tahun 2008 masyarakat Indonesia mengalami peningkatan hampir setengahnya memakai laptop dari tahun 2007. Padahal, teknologi secara tidak langsung telah membunuh bahasa lokal. Siapakah yang disalakan dalam hal ini, penuliskah, masyarakatkah, atau teknologi itu sendiri?


Salah satu peranan tersebut memang dimainkan oleh penulis. Masyarakat umum hanya berfungsi sebagai penutur, artinya penulis yang berperan sebagai penggagas makna kata dalam sebuah bahasa sementara masyarakat umum berlaku sebagai penutur. Jika peranan yang dimainkan oleh penulis tersebut bertindak arbitrer-individualis, berarti penutur juka akan berucap hal yang sama. Secara sadar maupun tidak sadar, penulis telah berada pada posisi pengatur bahasa.


Pada tataran penulis, ada beberapa kategori penulis berdasarkan hasil penulisan, seperti penulis prosa, penulis puisi, penulis esai, atau pun penulis ilmiah. Tapi bukan hal ini yang menjadi fundamentalis kepenulisan. Etika dalam menulis yang menjadi rujukan kepenulisan seorang penulis. Bahkan, sebuah konstitusi negara kita (Indonesia) telah menambah etika tersebut, yakni Undang-Undang Pornografi, meskipun belum ada sampai saat ini kesepakatan konkret yang mengarah secara esensial konstitusi tertulis mengenai etika-etika dalam menulis. Kategori-kategori tersebut hanya memberikan penilaian tata cara gaya menulis yang harus diikuti. Seseorang yang menulis puisi misalnya, penulis tersebut mengarah pada sebuah lisensi semu kepenyairan, yakni melawan gramatikal. Berbeda halnya dengan seorang penulis ilmiah, gramatikal merupakan sebuah rujukan yang pasti.


Etika menulis hanya sesuatu yang semu jika menggunakan kemenangan determinasi. Misalnya saja, pada sebuah kelompok manusia tidak akan pernah mengakui keberadaan etika menulis jika sekelompok orang tersebut memiliki paradigma hidup tanpa etika. Tetapi hal seperti itu sangat susah membentuknya, karena adanya teknologi. Kemajuan teknologi tidak dapat dihindarkan dalam segi berbahasa. Ketiadaan bahasa teknologi tersebut seakan mengontrol para penulis. Dalam hal ini, penulis lebih mengutamakan asal bahasa teknologi tersebut. Pada sepuluh tahun kebelakang, masyarakat tidak mengenal kata ‘download’, tetapi kata tersebut telah berada pada posisi sebaliknya di masa sekarang. Masih banyak kata-kata seperti itu yang menjadi pemusatan bahasa.


Di dalam abad saat ini, teknologi semakin meningkatkan posisi hegemoni bahasa teknologinya. Hanya saja kita sebagai masyarakat konsumen teknologi harus menentukan tendensi berbahasa. Hal utamanya adalah kita sebagai masyarakat yang cenderung konsumtif teknologi telah dihadapkan pada penerimaan paksa bahasa asalnya. Bahasa teknologi tersebut akan semakin merebak dengan adanya kecanggihan dunia maya atau disebut dengan internet. Tidak bisa dipungkiri bahwa kecanggihan teknologi dan internetisasi telah merusak bahasa, artinya telah merusak identitas diri bangsa. Pada sebuah layanan internet, ada sebuah pengacauan bahasa Indonesia tersebut, seperti kata ‘Sign-in bermasalah’, ‘Anda sudah sign-out’. Pengadaan internetisasi memang tidak bisa dihindarkan, tetapi apakah dengan adanya kecanggihan teknologi dan internetisasi, bahasa dan identitas negara ini harus musnah?


Ada dua hal dampak negatif terhadap bahasa atas kemajuan teknologi. Pertama, kearifan berbahasa lokal maupun nasional akan pudar, bahkan kemungkinan akan punah. Perlu diketahui bahwa sekitar 6.000 bahasa di dunia terancam punah. Kepunahan ini bisa terjadi pada negara Indonesia, baik bahasa lokal maupun nasional dalam 100 tahun ke depan. Menurut para ahli bahasa, tidak akan bertahan suatu bahasa jika tidak didukung oleh 100 orang pemakainya. Gejala-gejala seperti ini dapat terlihat dengan banyaknya pemakai kata ‘download’ daripada ‘unduh’. Dan hal tersebut jelas merupakan suatu gejala yang ditimbulkan oleh hegemoni teknologi.Kedua, hilangnya budaya dan sejarah. Bahasa tidak terlepas dari harga diri suatu masyarakat maupun bernegara. Kehilangan bahasa secara tidak langsung akan diikuti oleh hilangnya budaya dan sejarah, sebab bahasa, budaya, dan sejarah merupakan suatu yang saling terkait.


Penulis dan pemerintah adalah bagian yang tidak terpisahkan pada kontribusi bahasa teknologi. Pemerintah yang memiliki kekuatuan hirarki-sentralistik seharusnya memantau penutur dalam berbahasa demi mempertahankan kebudayaan dan sejarah. Negara ini semakin terhimpit kebahasaan jika tanpa controlling bahasa teknologi dari pemerintah. Maka dapat disimpulkan, bahwa pemerintah saat ini belum berkontribusi yang jelas terhadap tata bahasa Indonesia atas serangan teknologi. Masih dapat kita dengar sehari-hari bahasa teknologi di dalam masyarakat Indonesia seperti ‘epigon-bahasa’, misalnya laptop, download, upload, disk, software, virus.


Selain pemerintah, penulis juga sangat besar berpengaruh terhadap penutur bahasa. Penulis sudah seharusnya menentukan sikap kebahasaan atas serangan teknologi terhadap bahasa. Tetapi kenyataannya penulis bersikap ‘kebarat-baratan’. Bahkan sepertinya penulis tidak mampu menuangkan ide bahasanya terhadap teknologi, seolah telah menjadi budak pada teknologi tersebut. Ketika kemajuan teknologi masuk menguasai budaya lokal, maka peran penulis seharusnya mampu menyaring secara bahasa. Sama halnya dengan pemerintah, bahwa penulis pun belum berprestasi dalam kontribusi bahasa teknologi.


Jika kedua elemen ini terus bersikap tanpa suatu sikap penentangan terhadap bahasa asal teknologi, maka dikhawatirkan adalah bahasa kita akan redup. Secara global, dampak ini membuat peradaban yang baru, yakni sebuah peradaban monolingual. Seperti perkiraan para ahli bahasa, sekitar 50%-90% bahasa di dunia akan lenyap di abad ini.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Sastra Unpad

Bahasa Teknologi merupakan Ancaman bagi Bahasa Indonesia


Ketika saya membaca sebuah buku hasil perbincangan Pram (Saya Terbakar Amarah Sendiri!), saya mengarah pada pemakaian bahasa teknologi. Menurut Pram, bahasa Indonesia saat ini tidak memiliki karakter dengan adanya pengadopsian bahasa yang sering dipergunakan. Jika merujuk dari pendapat Pram tersebut, bahasa teknologi salah satunya. Sebuah bahasa yang tidak mengindentitaskan Indonesia.

Bahasa teknologi harus kita waspadai, sebab bahasa tersebut merupakan salah satu ancaman terbesar dalam tataran bahasa Indonesia. Kalau bahasa teknologi selalu dilepaskan seperti saat ini, kemungkinan terbesar beberapa puluh tahun kedepan bahasa Indonesia akan mengalami krisis bahasa.


Kekhawatiran saya tidak hanya pada kemusnahan bahasa Indonesia, tetapi juga pada budaya-budaya yang akan ditimbulkan. Seperti menurut para ahli, bahwa bahasa, budaya dan sastra meruapakan satu kesatuan yang tidak terlepaskan. Kehilangan bahasa berarti budaya akan mengikuti pula. Dan, sastra Indonesia akan mengalami ambang kemusnahan. Budaya-budaya yang timbul kelak merupakan budaya-budaya konsumtif. Karena memang jelas, teknologi di Indonesia belum mampu disetarakan dengan teknologi dengan negara-negara maju. Artinya, bangsa Indonesia hanya mampu menjadi sebuah negara tujuan konsumsi.


Seorang teman saya pernah mempermainkan kata kopi dengan copy. Saya mengatakan “Kita ngopy di sana aja” Lalu dia mengatakan “Emang di sana boleh ngopi ya?” Padahal sudah jelas kata copy yang saya maksud adalah kopi, sebab pada saat itu kami memerlukan penggandaan tugas. Teman saya dengan santainya dan nada yang ringan justru bermaksud untuk minum kopi. Selain itu, ada kata mengetik dan menulis. Mengetik merupakan bentukan kata kerja. Maknanya adalah proses melakukan ketik. Sama juga halnya dengan menulis, sebuah kata yang bermakna proses menulis. Kerancuan akan timbul bila seorang pengetik tidak disebut dengan pengetik. Saat ini, di jaman yang serba canggih seorang penulis sudah sangat jarang kita temui melakukan pekerjaannya sesuai dengan penamaan profesinya. Seorang penulis dengan kecanggihan teknologi saat ini, menjalankan profesinya dengan komputer atau laptop. Mengapa masih saja penulis yang tidak melakukan menulis disebut dengan penulis? Padahal sudah jelas kata itu tidak relevan lagi dengan keadaan, seharusnya penggunaan kata tersebut harus sesuai dengan tindakannya. Penulis yang melakukan pekerjaannya dengan alat komputer atau laptop disebut dengan pengetik.


Ada juga penamaan-penamaan suatu alat teknologi tidak berubah dari bahasa asalnya. Di jaman internetisasi saat ini segalanya telah mengarah pada ketenaran bahasa teknologi tersebut. Seperti yang kita kenal dengan kata e-mail, spam, virus, shutdown, download, upload, browsing, login, logout, dan sebagainya. Padahal kata-kata tersebut sudah memiliki arti yang berupa bahasa Indonesia, misalnya e-mail artinya adalah surat elektronik. Jika suatu kata teknologi yang tidak memiliki padanan, bukan pilihan yang tepat kita mengambil kata tersebut tanpa ada proses peng-Indonesia-an. Proses tersebut bukan hanya pada pengucapan yang berbahasa Indonesia, tetapi masih banyak cara kita melakukan peng-Indonesia-an bahasa. Sekolah-sekolah di desa pun saat ini telah ikut melakukan internetisasi. Dengan ada hal itu, berarti sekolah-sekolah telah berperan dalam pemakaian bahasa yang berkaitan dengan internet. Tempat pendidikan bukan tempat yang selalu bersifat ikut-ikutan, melainkan tempat yang menjadi pembelajaran dan bukan belajar ikut-ikutan.


Seperti itulah teknologi merusak tataran bahasa Indonesia. Akibatnya komunikasi yang seharusnya berjalan lancar menjadi kacau, tempat pendidikan juga tidak menempatkan posisi pada esensinya, sehingga yang timbul adalah pembunuhan karakter. Seperti yang saya kemukakan diawal mengenai pendapat Pramoedya Ananta Toer. Bahasa Indonesia dan bahasa teknologi merupakan dua bagian yang belum saling mendukung.


Ada beberpa hal yang menjadi penyebab atas kekacauan bahasa Indonesia dalam penggunaan bahasa teknologi. Pertama, hilangnya satu-persatu Fakultas Sastra. Hal ini merupakan bagian yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Sebab, Fakultas Sastra merupakan tempat yang legal dan secara akademik dalam mengolah makna pada suatu kata. Hilangnya Fakultas Sastra berarti tempat pengolahan makna pada suatu kata telah hilang, sehingga menimbulkan kata-kata teknologi yang tidak sesuai dengan bahasa Indonesia tersebut semakin leluasa menempati posisinya di dalam tataran bahasa Indonesia. Kedua, internetisasi tanpa batas. Di media-media telah mengabarkan proses internetisasi memasuki sekolah-sekolah di berbagai daerah. Artinya, internet yang merupakan bagian dari kecanggihan teknologi, tidak ada lagi batasannya untuk merasuki ketatabahasaan Indonesia. Seperti yang telah saya utarakan di atas, internetisasi juga bagian teknologi yang mengancam karakter bahasa Indonesia. Ketiga, globalisasi. Adanya globalisasi memberikan ancaman yang besar terhadap khazanah dari berbagai aspek di Indonesia. Salah satunya adalah khazanah sastra Indonesia. Ketiga hal ini masih hal yang sangat besar pengaruhnya, ada banyak hal lainnya dari berbagai aspek yang menjadi penyebab tersebut.


Sampai saat ini, belum ada satu pun lembaga yang bersangkutan dalam hal ini untuk mempulikasikan akan adanya perumusan pemakaian bahasa teknologi yang sesuai dengan karakter bahasa Indonesia. Saya sangat berharap dalam waktu dekat akan ada sosialisasi atau pun publikasi tersebut, sehingga masyarakat dapat mempraktekkan langsung.


Bahasa teknologi yang secara terus menerus merasuki bahasa Indonesia sesuai dengan perkembangan teknologi itu adalah salah satu ancaman terbesar bagi bahasa Indonesia, dan khususnya karakter bahasa Indonesia. Pada suatu saat ke depan, bila perumusan dan sosialisasi telah dilakukan, maka bahasa Indonesia dapat sedikit terlepas dari ancaman kehancuran bahasa. Pernah saya membaca sebuah artikel, bahwa sekitar 50%-90% bahasa di dunia akan musnah dalam waktu seratus tahun ke depan. Apakah prediksi tersebut merupakan bahasa Indonesia salah satunya? Hal ini bisa benar jika bahasa teknologi yang ada pada saat ini tidak kita benahi, dan tanpa pembenahan maka kita telah ikut serta dalam proses monolingual yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu. Dengan membentuk karakter bahasa, berarti kita telah membangun sebuah pertahanan negara yang lebih hebatnya dari pertahanan militer.


___________________________

ket. gambar: diunggah dari http://1.bp.blogspot.com/_aVIPlPXKwW8/SDDOOFPyc7I/AAAAAAAAAM4/5oMaxXA-xk8/s1600-h/bley-canstock-0012042.jpg