Undang-Undang dan Bahasa

ilustrasi (foto oleh blogger/blogspot)

oleh Fredy Wansyah

Bahasa tidak dapat kita lepas dari kehidupan. Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, kita membagi dua bentuk bahasa bila dipandang dari sudut aplikatif. Kedua bentuk tersebut ialah bahasa formal dan bahasa nonformal. Bahasa formal kita gunakan dalam situasi yang resmi atau formal. 

Bahasa formal sering kita sebut bahasa baku. Bentuk bahasa ini digunakan seefektif mungkin. Efektifitas bahasa tersebut berarti penyampaian pesan kepada lawan bicara dilakukan dengan meminimalisir munculnya perspektif-perspektif. Berbeda halnya dengan bahasa nonformal, digunakan dalam situasi takresmi. Penggunaannya pun bersifat efisien. Efisiensi tersebut berarti penyampaian pesan kepada lawan bicara dengan singkat dan tegas.

Dalam rutinitas atau acara-acara resmi digunakan bahasa resmi pula sebagai alat komunikasi. Pemakaian bahasa resmi itu menghindari adanya ketidaksampaian pesan maupun maksud si penutur terhadap si pendengar. Di dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 telah diatur pemakaian bahasa dan persoalan bahasa negara. Pada salah satu pasalnya menjelaskan bahwa bahasa resmi digunakan sebagai fungsi pemersatu.

Mengacu pada dua bentuk bahasa seperti di atas, yang kita kaitkan pada situasi hukum saat ini, tampaknya bahasa cenderung disalahkan. Lalu, apakah bahasa itu yang harus kita jadikan perdebatan di ruang-ruang publik? Seperti yang terjadi belakangan ini. Misalnya, pada diskusi mengenai kasus Prita Mulya Sari, kasus-kasus korupsi, kasus Randy dan Dian, dan beberapa kasus lainnya. Padahal, esensi bahasa ialah penyampai pesan.

Bahasa resmi ialah bahasa yang dijadikan materi utama perundang-undangan, khususnya undang-undang hukum. Tanpa bahasa tidak akan ada undang-undang. Hukum merupakan suatu ranah yang bersifat manusiawi. Pembuatan undang-undang hukum bukanlah mudah. Artinya, pembuatan undang-undang hukum harus didasari pemahaman bahasa yang baik demi menghindari multi perspektif serta unsur-unsur hukum itu sendiri. 

Apalagi, bila bahasa tidak dianggap sesuatu yang serius di dalam pembentukan undang-undang hukum, maka sama saja dengan memainkan kemanusiawian itu sendiri. Undang-undang hukum tanpa dasar pemahaman bahasa yang baik dan benar justru hanya menimbulkan perdebatan, perbedaan perspektif, dan sebagainya.

Tampaknya ahli bahasa tidak disertakan secara maksimal di dalam perundang-undangan, khususnya undang-undang hukum saat ini. Perundang-undangan itu berupa memaknai kembali undang-undang hukum yang telah ada, perevisian undang-undang hukum, hingga perancangan undang-undang hukum. 

Di dalam mata kuliah misalnya, tujuh tahun yang lalu mata kuliah bahasa undang-undang menjadi salah satu mata kuliah umum di fakultas bahasa salah satu Universitas Negeri yang berada di jawab Barat. Saat ini mata kuliah tersebut tidak ada lagi. Ini mengindikasikan bahwa bahasa tidak mendapatkan perhatian serius di dalam perundang-undangan.

Jadi, perbaikan undang-undang, khususnya undang-undang hukum negara ini sebaiknya dimulai dari kebahasaannya. Misalnya, di dalam pemaknaan suatu undang-undang hukum sebaiknya disertakan ahli bahasa.

*) Pegiat Bahasa dan Sastra.