Keluar atau Ke Luar?

“Tak perlu keluar duit banyak kalau mau keluar negeri”

Itu hanya contoh kalimat di baliho dan selebaran yang bertebaran di sepanjang jalan. Biasanya penawaran jasa agen wisata, biro travel, dan semacamnya. Setali tiga uang, kesalahan penulisan juga bertebaran di banyak baliho dan selebaran tersebut.

Kalimat di atas itu, misalnya. Manakah kata “keluar” yang tidak tepat penggunaannya dalam kalimat? Mengapa tidak tepat?

Memang, dalam bahasa lisan, pengucapan antara “keluar” dan “ke luar” tidak ada perbedaan. Akan tetapi dalam bahasa tulisan, perbedaan dua bentuk tersebut kentara.

Bentuk “keluar” adalah kata kerja dasar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, maknanya “bergerak dari sebelah dalam ke sebelah luar”. Sebagai kata kerja, maka “keluar” bisa menjadi predikat dalam kalimat, misalnya:

Andi keluar (dari ruangan).
Kalau Anda sudah selesai, silakan keluar.
Saya mengeluarkan uang banyak untuk memperbaiki motor ini. (berimbuhan me-kan)
Beda halnya dengan bentuk “ke luar”. Bentuk ini adalah frasa adverbial yang hanya bisa mengisi posisi keterangan dalam kalimat. Frasa ini terdiri dari “ke” yang merupakan kata depan yang menandai arah atau tujuan, dan  “luar” yang bermakna “bagian yang tidak di dalam”.

Supaya lebih mudah melihat perbedaannya, coba simak beberapa pasang kata kerja-frasa keterangan ini:

“Maju”, pasangannya “ke depan”

“Mundur, pasangannya “ke belakang”

“Minggir”, pasangannya “ke samping”

“Masuk”, pasangannya “ke dalam”

Maka, “keluar”, pasangannya “ke luar”

Untuk mengetahui bentuk mana yang akan dipakai, yang harus dilihat adalah posisi dalam kalimat. Kalau sebagai predikat, maka dipakai “keluar”. Kalau sebagai keterangan tujuan, maka dipakai “ke luar”. Khusus di bentuk kedua, artinya di dalam kalimat tersebut ada kata lain yang berfungsi sebagai predikat. Misalnya:

Para demonstran keluar dari ruang sidang.

Para demonstran melangkah ke luar ruang sidang.

Karena beda fungsi, tentu saja penggunaan kedua bentuk ini tidak bisa saling menggantikan. Namun, bagaimana kalau ditulis secara beriringan, misalnya: “Ibu keluar ke luar?” Secara aturan kalimat tersebut benar, tapi secara makna, ada perulangan sehingga membuat kalimat tersebut tidak efektif. Sama seperti kalimat, “Siswa yang tidak membawa topi, harap maju ke depan”, atau “Tamu yang membawa undangan silakan masuk ke dalam.”


ditulis oleh Satrio Nugroho, dari Intisari

Seleksi Buku dari Badan Bahasa

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan ikut serta dalam Frankfurt Book Fair (FBF) tahun 2014 di Jerman, dan akan menjadi Guest of Honor (GoH) dalam Frankfurt Book Fair(FBF) tahun 2015. Dalam kegiatan itu, Indonesia akan memamerkan buku-buku unggulan dari jenis buku-buku sastra dan nonsastra hasil karya anak bangsa. Selain dipamerkan, buku-buku yang lolos seleksi akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman atau Bahasa Inggris.
    Untuk itu, kami mengundang partisipasi dari berbagai kalangan baik penerbit, lembaga/institusi kebahasaan dan kesastraan, maupun masyarakat umum untuk turut serta dalam penyelenggaraan ini dengan mengirimkan buku/karya pilihan yang dianggap layak untuk diterjemahkan atau dipamerkan dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2014 dan 2015. Melalui Komite Buku dan Penerjemahan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memilih buku/karya yang masuk untuk diseleksi oleh tim independen yang sudah ditunjuk dengan ketentuan umum sebagai berikut.
  1. Masing-masing buku/karya yang dikirimkan kepada panitia berjumlah 3 eksemplar
  2. Setiap penerbit/perorarangan dapat mengirimkan jumlah judul buku/karya sebanyak-banyaknya selama memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (sebagaimana terlampir)
  3. Buku/karya yang diajukan, diserahkan kepada panitia dalam kondisi fisik yang baik (tidak hanya berupa daftar judul)
  4. Panitia menerima buku/karya yang diajukan tersebut paling lambat pada tanggal 15 April 2014
  5. Pengumuman hasil seleksi dapat dilihat di laman (website) indonesiafbf.com
Sementara itu, kriteria buku/karya yang akan diajukan dapat diunduh pada lampiran di bawah ini.

Sekretariat Komite Buku dan Penerjemahan
Frankfurt Book Fair
Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun
Jakarta 13220
Telepon               : +62 21 95611197, 97646033
Faksimile             : +62 21 4706678
Posel (email)       : books@indonesiafbf.com
laman (website)  : indonesiafbf.com

Narahubung (contact person):
  1. Dewi Puspita
  2. Denda Rinjaya

(sumber: Badan Bahasa)

Undang-Undang dan Bahasa

ilustrasi (foto oleh blogger/blogspot)

oleh Fredy Wansyah

Bahasa tidak dapat kita lepas dari kehidupan. Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, kita membagi dua bentuk bahasa bila dipandang dari sudut aplikatif. Kedua bentuk tersebut ialah bahasa formal dan bahasa nonformal. Bahasa formal kita gunakan dalam situasi yang resmi atau formal. 

Bahasa formal sering kita sebut bahasa baku. Bentuk bahasa ini digunakan seefektif mungkin. Efektifitas bahasa tersebut berarti penyampaian pesan kepada lawan bicara dilakukan dengan meminimalisir munculnya perspektif-perspektif. Berbeda halnya dengan bahasa nonformal, digunakan dalam situasi takresmi. Penggunaannya pun bersifat efisien. Efisiensi tersebut berarti penyampaian pesan kepada lawan bicara dengan singkat dan tegas.

Dalam rutinitas atau acara-acara resmi digunakan bahasa resmi pula sebagai alat komunikasi. Pemakaian bahasa resmi itu menghindari adanya ketidaksampaian pesan maupun maksud si penutur terhadap si pendengar. Di dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 telah diatur pemakaian bahasa dan persoalan bahasa negara. Pada salah satu pasalnya menjelaskan bahwa bahasa resmi digunakan sebagai fungsi pemersatu.

Mengacu pada dua bentuk bahasa seperti di atas, yang kita kaitkan pada situasi hukum saat ini, tampaknya bahasa cenderung disalahkan. Lalu, apakah bahasa itu yang harus kita jadikan perdebatan di ruang-ruang publik? Seperti yang terjadi belakangan ini. Misalnya, pada diskusi mengenai kasus Prita Mulya Sari, kasus-kasus korupsi, kasus Randy dan Dian, dan beberapa kasus lainnya. Padahal, esensi bahasa ialah penyampai pesan.

Bahasa resmi ialah bahasa yang dijadikan materi utama perundang-undangan, khususnya undang-undang hukum. Tanpa bahasa tidak akan ada undang-undang. Hukum merupakan suatu ranah yang bersifat manusiawi. Pembuatan undang-undang hukum bukanlah mudah. Artinya, pembuatan undang-undang hukum harus didasari pemahaman bahasa yang baik demi menghindari multi perspektif serta unsur-unsur hukum itu sendiri. 

Apalagi, bila bahasa tidak dianggap sesuatu yang serius di dalam pembentukan undang-undang hukum, maka sama saja dengan memainkan kemanusiawian itu sendiri. Undang-undang hukum tanpa dasar pemahaman bahasa yang baik dan benar justru hanya menimbulkan perdebatan, perbedaan perspektif, dan sebagainya.

Tampaknya ahli bahasa tidak disertakan secara maksimal di dalam perundang-undangan, khususnya undang-undang hukum saat ini. Perundang-undangan itu berupa memaknai kembali undang-undang hukum yang telah ada, perevisian undang-undang hukum, hingga perancangan undang-undang hukum. 

Di dalam mata kuliah misalnya, tujuh tahun yang lalu mata kuliah bahasa undang-undang menjadi salah satu mata kuliah umum di fakultas bahasa salah satu Universitas Negeri yang berada di jawab Barat. Saat ini mata kuliah tersebut tidak ada lagi. Ini mengindikasikan bahwa bahasa tidak mendapatkan perhatian serius di dalam perundang-undangan.

Jadi, perbaikan undang-undang, khususnya undang-undang hukum negara ini sebaiknya dimulai dari kebahasaannya. Misalnya, di dalam pemaknaan suatu undang-undang hukum sebaiknya disertakan ahli bahasa.

*) Pegiat Bahasa dan Sastra.