Perihal Keseriusan dan Faedah dalam Cerpen Patung


Perihal Keseriusan dan Faedah dalam Cerpen Patung


Secara eksplisit maupun implisit disebutkan bahwa fiksi serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna bagi kita dan bukannya memberikan kenikmatan” (Robert Stanton. 4:2007)


Jika pernyataan dalam Teori Fiksi, Robert Stanton, tersebut diaplikasikan ke dalam pembacaan cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Patung persepsi yang muncul adalah “keminan-mainan” Penulisnya dalam menciptakan cerpen tersebut. sebab, tidak adanya penggarapan yang serius terhadap tokoh dan penokohan, latar dan suasana, yang keseluruhannya membangun cerita dengan jelas sehingga pembaca dapat mengambil faedah sesuai sebab-akibat yang logis.

Dari tokoh dan penokohan sangat sulit diterima akal sehat atau logika. Penulis menceritakan sebuah patung, sebagai tokoh utama, yang di dalamnya tidak mempertimbangkan alur logika. Cerita tokoh utama hanya mnejadi sebuah bentuk metafor, tetapi seharusnya pada bentuk metaforik tersebut pun terdapat logika yang menuntun pembaca untuk mengambil faedah tersebut. di sisi lain, bentuk seperti ini pulalah yang mnejadi ciri khas kepengarangan Penulisnya, sering dikategorikan bahwa Seno adalah penulis yang Surealis.



Duaratus tahun kemudian, seorang nenek berkata kepada cucunya, sambil menunjuk diriku.

“Lihatlah orang bodoh itu,” katanya, “ia berdiri terus disitu, menunggu kekasihnya sampai menjadi patung.”


Latar dan suasana yang dibangun pun tidak memiliki relevansi yang jelas terhadap keadaan tokoh utama. Sewajarnya, tokoh dibangun dengan didasari keadaan sekitarnya. Suasana pun seharusnya mampu menjadi “sebab-akibat” tokoh dalam bertindak. Pada situasi ini cerpen Patung tidak membentuk latar dan suasananya yang ril dalam rangkaian membangun tokoh. Tokoh lelaki patung, yang diakhir cerita diikuti dengan perempuan yang akan menjadi patung pula, hanya diakibatkan oleh keadaan yang kurang diterima akal, Aku tidak bisa berkutik karena telah menjadi patung.


Aku terus menerus berada di sana, di pertigaan di luar desa menghadap sawah membentang seperti permadani. Kemudian tumbuh pohon beringin di pertigaan itu. Akarnya membelit-belit badanku. Aku tidak bisa berkutik karena telah menjadi patung. Tiada yang bisa kulakukan selain menunggu. Hidup tidak memberiku banyak pilihan selain mencintai dia. Aku akan terus menerus menunggu dari senja ke senja.


Pada bentuk-bentuk suasana seperti kutipan di atas tokoh telah mnejadi patung, sementara keadaan sekitarnya, dan yang menjadi landasan bertanya, adalah mengapa bisa tokoh menjadi patung? Dengan unsur-unsur apa, bahkan hingga beratus-ratus tahun?

Namun, ada pernyataan implisit yang dapat diambil menjadi faedah dalam cerpen tersebut, yakni kesetiaan kepada pasangan itu penting, meskipun tantangannya menjadi batu, sesuatu yang keras dan tidak dapat bergerak hanya demi menjaga kesetiaan. Kesetiaan menjadi tema utama dan pesan yang ingin disampaikan Penulis kepada pembacanya.

0 comments:

Post a Comment